Pelajaran dan Tugas Sekolah

Politik Budaya di Televisi

 


Buku Konstruksi Budaya Bangsa di Layar Kaca karya Philip Kitley adalah salah satu studi yang paling awal menaruh perhatian serius pada perkembangan televisi di Indonesia. Keseriusan itu ditandai, antara lain, oleh rentang studinya yang panjang. Cakupan studinya dimulai semenjak siaran televisi pertama TVRI (yang sekaligus memulai monopoli pemerintah atas penyiaran) hingga era deregulasi yang melahirkan televisi swasta. Rentang panjang wacana televisi tersebut dibungkus rapi dalam buku setebal 436 halaman ini.

Rentang bukanlah satu-satunya kelebihan buku ini. Hal lain adalah sudut pandangnya yang menarik dalam melihat televisi. Kitley pertama-tama mendudukan televisi sebagai produk pasca-kolonial. Ia melihat kemiripan praktek pemerintah Indonesia dalam memperlakukan televisi dengan bagaimana pemerintah pendudukan Jepang memperlakukan radio. Radio pada masa pendudukan Jepang adalah sarana propaganda yang aktif. Radio diperdengarkan melalui pengeras suara yang dipasang di tempat-tempat keramaian (stasiun, pasar, dan sebagainya).
Sedemikian halnya dengan televisi di awal masa kemerdekaan. Harga pesawat televisi ketika itu masih sangat mahal, mencapai dua puluh kali gaji pegawai negeri. Karena itu, kebanyakan masyarakat hanya bisa menyaksikan siaran Asian Games di TVRI melalui televisi yang ditempatkan di ruang-ruang publik. Perhelatan Asian Games ke-4 yang diadakan di Indonesia itu merupakan momentum kemunculan televisi di tanah air. Namun, kelahiran TVRI membawa misi yang lebih besar lagi: persatuan nasional. Pemerintah membagikan 10.000 pesawat televisi pada pegawai negeri (hal. 34). Langkah ini diambil untuk mendukung rencana televisi sebagai perekat Indonesia yang dipisahkan oleh pulau-pulau. Bersamaan dengan itu, dibangunlah tiang-tiang pemancar demi meluaskan jangkauan TVRI yang pada awalnya hanya bisa dinikmati di Jakarta dan sekitarnya.
Pada titik inilah Kitley melihat keberlanjutan praktek bermedia pemerintah pendudukan Jepang dengan pemerintahan Soekarno. Menurut Kitley, penempatan televisi di pusat-pusat keramaian seperti jalan dan pasar mirip dengan “pengalaman mendengar pohon-pohon bernyayi dan propaganda pemerintah pendudukan Jepang” (hal. 34). Yang dimaksud dengan “pohon-pohon bernyanyi” oleh Kitley adalah radio yang ditempatkan di ruang-ruang publik. Paradigma kolonial inilah yang dilanjutkan oleh rezim Orde Lama dengan menjadikan TVRI sebagai alat propaganda persatuan nasional. Tempat di mana budaya nasional dipanggungkan dan “komando” pemerintah didengungkan.
Keterkaitan praktek bermedia pemerintah kolonial Jepang dengan pemerintahan Orde Lama tidak hanya berhenti sampai tataran sejarah saja. Televisi sebagai “hadiah” kolonial kian nyata dengan fakta bahwa siaran pertama Asian Games di TVRI dimungkinkan oleh pelatihan awak TVRI oleh awak NHK (Nippon Hōsō KyōkaiPerusahaan Penyiaran Jepang) di Jepang. Lebih jauh, NHK secara langsung  memberikan bantuan teknis (awak dan teknologi) pada TVRI untuk peliputan Asian Games 1962 di Indonesia (hal. 28). Pilihan ini tentu bukan sekedar persoalan teknis, melainkan juga kesamaan paradigma mengenai medium komunikasi publik (televisi).
Untuk memeriksa paradigma negara dalam mengoperasikan televisi, Kitley mengajak kita melihat bagaimana televisi mendefinisikan penontonnya. Definisi atas penonton itu juga yang mempertautkan praktek bermedia pemerintah kolonial Jepang dengan pemerintah Orde Lama, dan juga nantinya Orde Baru. Konsepsi penonton sebagai rakyat dan bangsa, yang dalam retorika revolusi melulu dikonsepsikan sebagai kekanak-kanakan dan belum siap dengan kebebasan, merupakan alasan monopoli TVRI oleh negara era Orde Lama.
Praktik ini berlanjut hingga era Orde Baru. Aturan pelarangan siaran niaga yang dikeluarkan Presiden Soeharto pada 5 Januari 1981, dicatat oleh Kitley sebagai satu episode penting dalam sejarah penyiaran yang menandai kuatnya paradigma penonton sebagai pihak yang rentan manipulasi (hal. 68). Latar belakang keluarnya aturan ini, dinilai Kitley, berawal dari sentimen anti-asing dan komersialisasi yang kian menguat sejak peristiwa Malari (Malapetaka Lima Belas Januari) 1974 (hal. 68). Sebelumnya, pada tahun 1975, iklan barang-barang mewah dilarang di televisi sebagai upaya pemerintah menindaklanjuti keberatan publik atas maraknya nilai komersialisasi di televisi (hal. 70). Bersamaan dengan seruan anti-asing yang jadi semangat “zaman” semenjak Malari, “...pada 1978 semua agen periklanan transnasional berbagi saham dengan rekan Indonesianya sebagai suatu cara mengurangi sifat ‘asing’ mereka (hal. 70).”
Praktik pelarangan siaran niaga adalah puncak gunung es dari ideologi yang mendasarinya, yaitu politik kekeluargaan ala Orde Baru, yang menjadikan perspektif keluarga sebagai cara pandang segala aspek  kehidupan. Baik dalam hal ekonomi, politik, budaya, birokrasi, dan—tidak ketinggalan—penyiaran. Dalam penyiaran, implementasi politik kekeluargaan terekam dari pembayangan mengenai pemirsa sebagai keluarga:
Pemirsa nasional menjadi lebih dari sekedar kesatuan ruang dan bersifat sebagai suatu keluarga nasional melalui cara penyampaian penyiar TVRI pada penontonnya sebagai saudara (hal. 87).
Kitley melihat analogi keluarga yang digunakan Orde Baru, pada akhirnya, memposisikan negara sebagai ayah atau kepala keluarga dan rakyat/pemirsa sebagai anak. Kitley menilai perspektif Orde Baru atas penonton televisi sesuai dengan gagasan Hartley yang disebut “anak mental”, yaitu suatu perspektif kelembagaan yang membayangkan pemirsanya sebagai kekanak-kanakan dan karenanya butuh bimbingan (hal. 88). Dengan bertumpu pada narasi itu, berbagai pengaturan mengenai periklanan dijalankan; mulai dari menempatkan iklan dalam dua segmen tayangan yang masing-masing 30 menit (agar mudah dihindari), sampai dengan pelarang iklan niaga. Segala upaya ini dilakukan demi menghindari dampak konsumerisme, terutama terhadap mereka yang tinggal di desa, “sehingga produk-produk tidak dipamerkan pada mereka yang tidak bisa membelinya” (Alfian dan Chu, dalam Kitley, hal. 89).
Politik budaya Orde Baru di televisi tidak hanya dijalankan lewat sensor, melainkan juga melalui penciptaan nilai-nilai. Dalam analisisnya, Kitley menunjukkan bahwa dalam tayangan TVRI seperti Si Unyil dan Keluarga Rahmat, perangkat idelogi Orde Baru bekerja. Si Unyil merupakan inisiasi bagi anak-anak untuk menjadi “warga negara yang baik”. Nilai-nilai utama dalam Si Unyil adalah pengenalan pada anak mengenai desa, hierarki keluarga, dan pandangan mengenai moral mapan pergaulan antara masyarakat yang berlandaskan nilai kepentingan umum di atas kepentingan pribadi. Si Unyil adalah versi lain dari Pendidikan Moral Pancasila di sekolah. Sementara sinetron Keluarga Rahmat, merupakan model masyarakat harapan Orde Baru, yang di dalamnya terdapat nilai-nilai moral “resmi” yang tertanam hingga ruang keluarga. Moral itu adalah kerukunan, kejujuran, kesabaran, pengabdian, dan lainnya, yang dibalut dalam drama berlatar keluarga pegawai negeri sipil sederhana.
Namun, upaya penanaman nilai mapan tidak selalu berjalan mulus. Sebab, sebagaimana setiap produk propaganda, kedua tayangan tersebut berada di antara ketegangan untuk menghibur, mempersuasi dan sekaligus menggurui. Antara menghadirkan misteri dan penjelasan. Drama seperti Keluarga Rahmat yang ditujukan sebagai suara resmi kemapanan, tidak lagi memberi ruang bagi kompleksitas masalah. Tidak ada ruang bagi yang abu-abu; semua harus segera menjadi jelas. Akibatnya, drama yang seharusnya menghibur, menjadi ceramah moral yang membosankan. “Keluarga Rahmat terlalu berhasil mewakili masyarakat Orde Baru. Orang tidak suka menontonnya” (hal. 186).
Lambat laun, seiring dengan bergesernya peta ekonomi-politik dan perkembangan teknologi komunikasi pada akhir 80-an, TVRI kehilangan pemirsa setianya. Berkembangnya teknologi penyiaran melahirkan kelompok kelas menengah yang tidak lagi menonton TVRI dan memilih tayangan-tayangan dari luar negeri. Parabola memungkinkan mereka yang memilikinya untuk menonton siaran televisi dari luar negeri. Kontrol siaran tidak mungkin lagi dikuasi secara penuh oleh pemerintah. Puncaknya, 28 Oktober 1987, Indonesia memasuki era deregulasi yang ditandai dengan lahirnya stasiun televisi swasta pertama, yakni Rajawali Citra Televisi (RCTI). Disusul kemudian oleh Surya Cipta Televisi (SCTV) pada 17 Januari 1990.
Perubahan peta politik (melalui regulasi) dan ekonomi melahirkan definisi baru bagi penonton televisi, yaitu penonton sebagai pasar. Model penyiaran swasta yang bertujuan mencari laba memungkinkan lahirnya cara pandang berbeda dengan cara pandang resmi (penonton sebagai bagian dari keluarga). Hal ini terjadi, antara lain, karena sejak awal televisi swasta dibatasi oleh pemerintah hanya bagi mereka yang secara ekonomi mampu.
...televisi swasta didirikan sebagai Siaran Saluran Terbatas (SST) dan hanya tersedia bagi mereka yang berada di Jakarta dan sekitarnya. Mereka harus memasang decoder seharga sekitar Rp. 131.000 dan mampu membayar langganan Rp. 30.000 (hal. 101).
Pada titik ini, perbedaan konsep penonton melahirkan perbedaan yang tajam antara televisi swasta dengan TVRI. Televisi swasta lebih bersifat melayani kehendak penontonnya, ketimbang menggurui. Setiap tayangannya dibuat untuk memenuhi keinginan penonton, bukan untuk mendidik saudara. Dengan bertumpu pada hasil risetrating dari SRI (Survey Research Indonesia), televisi swasta bergerak lincah mendefinisikan, memproduksi, atau membeli program-program unggulan dari luar negeri demi merebut perhatian penonton. Kemunculan televisi swasta pada akhirnya mendorong lahirnya wacana penonton sebagai pelaku yang aktif dan berdaya beli. Secara tidak langsung, wacana demikian adalah kontra-hegemoni atas hegemoni dominan wacana penyiaran yang dikomandokan pemerintah.
Dengan menguraikan wacana penyiaran sejak era monopoli hingga deregulasi, Kitley sedang menunjukkan pada kita bahwa, kontur industri penyiaran amat ditentukan oleh dialektika antarlevel struktural (ekonomi dan politik) dan kultural. Tepat dalam hal inilah kelebihan Konstruksi Budaya Bangsa di Layar Kaca, yakni kemampuannya membangun jembatan analisis antara praktik di level ekonomi-politik dengan wacana penyiaran mengenai penonton televisi.
Model analisis ini berguna bagi kita yang masih dihadapkan pada persoalan penyiaran yang tidak kunjung usai. Mulai dari persoalan isi siaran yang sarat kekerasan terhadap minoritas, misalnya, hingga persoalan struktur seperti monopoli kepemilikan yang masih terjadi dan Sistem Stasiun Jaringan (SSJ) yang tak kunjung terlaksana. Jika meminjam model analisis Kitley, muaranya adalah pada pertarungan wacana mengenai siapa penonton televisi—publik atau pasar?
Selama regulasi kita tidak tegas dalam mendefinisikan ranah penyiaran sebagai ranah publik dan karenanya pertama-tama harus mengabdi pada publik, maka selama itu pula kita akan terus didera persoalan yang sama. Dengan membaca Kitley, menjadi jelas bahwa medan perjuangan untuk menjadikan penyiaran sebagai ranah publik, adalah perjuangan politik, dengan mengupayakan hukum dan regulasi penyiaran yang berpihak pada publik dan  budaya, dengan memproduksi pengetahuan yang mendukung ke arah itu.

BACA SELENGKAPNYA...


Mirip dengan Politik Budaya di Televisi :


0 Komentar untuk "Politik Budaya di Televisi"
Back To Top